Senin, 28 Desember 2020

Kutipan Sejarah Eyang Buyut

BANJIR BANDANG PERNAH MELANDA KOTA BANYUMAS

Masyarakat Banyumas yang kebetulan lewat dan singgah di komplek Pondok Pesantren GUPPI Banyumas akan terkesima jika melihat "Prasasti" banjir bandang yang melanda Banyumas 21-23 Februari 1861. Prasasti yang ditempelkan ditembok bagian selatan gedung yang persis di pintu masuk komplek menggunakan bahasa Belanda, letaknya persis menggambarkan ketinggian air bah yang sampai ke langit-langit gedung sekitar 3,5 m tingginya. Saat itu gedung masih dipakai untuk kantor Karsidenan Banyumas, prasasti yang terbuat dari marmer tersebut menjadi saksi sejarah satu-satunya yang menerangkan bahwa kota Banyumas pernah dilanda Banjir besar. Bahkan para sesepuh kala itu sudah mendapat firasat yang digambarkan dengan sasmita, terkenal dengan sasmita "Betik Mangan Manggar".

Pada bulan Februari 1861 kota Banyumas tergenang air akibat banjir besar dari Sungai Serayu, sehingga mendatangkan becana alam yang besar. Korban jiwa tidak sedikit. Oleh Tuan Rasiden S. Van Deventer, pada tembok kantor Karsidenan ditandai tinggi air banjir dari tanah yaitu tiga setengah meter, Banjir besar itu terjadi pada tanggal 21 - 23 Februari 1861 Pendopo Si Panji menjadi tempat pengungsian sebagian penduduk yang tidak sempat menyelematkan diri ke luar kota. 
Bupati Banyumas pada waktu itu adalah Raden Adipati Cokronegoro I yang menjabat sejak tahun 1861. Sudah sering terdengar ucapan-ucapan yang terlontar di kalangan masyarakat awam yang bermakna "sasmita" atau "perlambang", yaitu "Bethik mangan manggar".
Semula semua orang tidak dapat menafsirkan apa makna di balik kata-kata itu, sesudah bencana banjir terjadi, baru orang mengetahui makna yang tersirat dalam ucapan simbolik itu. "Bethik" adalah nama jenis ikan air tawar yang hidupnya di air sungai, sedangkan "Manggar" bunga pohon kelapa.
Pohon kelapa yang berusia + 7 tahun tingginya 3 - 4 meter, biasanya sudah bermanggar. Jadi "Bethik mangan manggar" (Ikan Bethik makan manggar) memberi lambang bahwa ikan yang hidup di air sungai dapat mencapai manggar yang berarti puncak pohon kelapa. Itu menunjukkan bahwa bajir yang akan terjadi cukup besar. Sesudah terjadi banjir besar, dan semua rakyat kesulitan akibat banjir telah dapat diatasi Kanjeng Raden Adipati Cakranegara 1, sehingga Bupati Banyumas mendapat anugrah dari pemerintah (Gupermen) berupa Bintang "Ridder Orde Eiken Kroon". Itulah maka sejak saat itu beliau mendapat julukan Kanjeng Ridder.

Setelah beliau meninggal, diganti putranya Patih Banyumas, bergelar Kanjeng Raden Mas Tumenggung Cakranegara II, Ibunya bernama Bendoro Raden Ayu, putra Kanjeng Pengeran Mangkubumi Surakarta. Pada tahun 1879 Kanjeng Raden Mas Tumenggung Cakranegara II Pensiun, bertempat tinggal di dusun Gendayakan, desa Pesinggangan (Banyumas) dan akhirnya dikenal rakyat sebagai Bendara Kanjeng Gendayakan. 
Semula yang akan menggantikan adik beliau se-ayah, Raden Cakrasaputra, Wedana Sukaraja. Tetapi atas usul Tuan Raden C.de derk Moolenburgh, Gupermen menetapkan Kanjeng RT. Cakrasaputra diangkat di
Purwokerto.
Adapun yang diangkat di Banyumas ialah Kanjeng Raden Adipati Mertodirejo III, pindahan dari Purwokerto yang ada juga ceritanya tersendiri. Konon sebelum kepindahannya ke Banyumas, ada kata - kata yang bersifat perlambangan sebagai berikut:
"Besuk yen ana kudi tarung karo karahe, negara Banyumas bali maring sing due". (Kelak kalau ada Kudi bertengkar dengan Karahnya, pemerintah Banyumas akan kembali kepada pemiliknya). Kata-kata perlambang tersebut pada akhirnya sungguh-sungguh menjadi kenyataan. Ketika Tuan Residen C.de derq Mooelenburgh memegang pemerintahan di Banyumas pada tahun 1878, ia selalu kontra dengan Bupati Bendara Kanjeng Raden Mas Tumenggung Cakranegara II, sehingga Raden Mas Tumenggung atas kemauannya sendiri berhenti (tahun 1879). Maka pada waktu itulah pindahnya Kanjeng Raden Adipati Mertodirejo III dari Purwokerto ke Banyumas seperti diberikan dimuka.
Adapun pengganti Kanjeng Raden Tumenggung Cakra Saputra adik Kanjeng Raden Mas Tumenggung Cakranegara II. Terjadi, kata- kata tersebut maknanya ialah Kudhi Residen, Bupati dikiaskan Karahnya. Pemerintah Banyumas kembali kepada yang punya maksudnya kembali kepada ahli warisnya.

Kanjeng Raden Tumenggung Cakrasaputra mulai memegang tampuk pemerintahan pada tahun 1879. Dua tahun kemudian beliau menderita sakit kelumpuhan selama dua tahun, akhirnya berhenti, pensiun. Tahun 1882 bertempat tinggal dikampung Baron (Surakarta), selanjutnya dikenal sebagai Bandoro Kanjeng Baron. Beliau tidak berputra.

Kabupaten Purwokerto mengalami masa vacum (Jawa Komplang) selama 3 tahun. Penggantinya Raden Mas Cakrakusuma, kemenakan beliau Asisten Wedana Banteran (Purwokerto), putra Kanjeng Raden Mas Tumenggung Cakranegara II (Kanjeng Gendayakan). Memerintah sejak tahun 1885 -1905). Oleh pemerintah diberi onderstand, dan beliau kemudian bertempat tinggal di Cilacap, dan di kenal sebagai Bandera Kanjeng Onderstand.

Penggantinya, pamannya bernama Raden Cakrasubroto, Wedana Distrik Karangkobar (Banjarnegara), dan berganti nama menjadi Kanjeng Raden Tumenggung Cakranegara III. (Tahun 1905).

Jumat, 30 Oktober 2020

Pendahuluan

Terinspirasi dari cerita masa kecil yang selalu diceritakan oleh anak2nya kepada cucu2nya.

Suatu kisah yang selalu terdengar dan belum pernah tertulis. Suatu kisah yang mempunyai sejarah panjang tentang keluarga besar.

Kisah yang harus dilengkapi penulisannya dengan penelusuran dan perjalanan panjang.